Selasa, 31 Juli 2012
0
Selasa, 31 Juli 2012
Unknown
Jaranan Dan Representasi Abangan
Jaranan pada jaman dahulu adalah selalubersifat sakral. Maksudnya selalu berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya
gaib. Selain untuk tontonan dahulu jaranan juga digunakan untuk upacara-upacara
resmi yang berhubungan dengan roh-roh leluhur keraton. Pada jaman kerajaan
dahulu jaranan seringkali ditampilkan di keraton.
Dalam praktek sehari-harinya para seniman
jaranan adalah orang-orang abangan yang masih taat kepada leluhur. Mereka masih
menggunakan danyangan atau punden sebagai tenpat yang dikeramatkan. Mereka
masih memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap roh-roh nenek moyangnya. Mereka
juga masih melaksanakan praktik-praktik slametan seperti halnya dilakukan oleh
orang-orang dahulu.
Pada kenyataanaya seniman jaranan yang ada
di kediri adalah para pekerja kasar semua. Mereka sebagian besar adalah tukang
becak dan tukang kayu. Ada sebagian dari mereka yang bekerja sebagai sebagai
penjual makanan ringan disepanjang jalan Bandar yang membujur dari utara ke
selatan.
Cliford Geertz mengidentifikasi mereka
dengan sebutan abangan. Geertz memberikan penjelasan tentang praktik abangan. Masayarakat
abangan adalah suatu sekte politio-religius dimana kepoercayaan jawa asli
melebur dengan Marxisme yang Nasionalistis yang memungkinkan pemeluknya
sekaligus mendukung kebijakan komunisdi Indonesia. Sambil memurnikan
upacara-upacara abangan dari sisa-sisa Islam (Geertz 1983).
Dalam perkembanganya kesenian jaranan
mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan kondisi social masyarakat yang sudah
berubah dalam memaknai dan mengambangkan jaranan. dari tahun-ke tahun jaranan
mulai berubah dari yang sifatnya tuntunan menjadi tontonan dan yang paling
menarik adalah jaranan sebagai alat untuk menarik simpatisan dan untuk
pengembangan pariwisata.
Jaranan pada tahun 1960-an menjadi alat
politik PKI untuk menopang kekuasaanya dan menarik masa. Pada tahun-tahun itu
kebijakan Sukarno tentang Nasakom sangat mempengaruhi keberadaan
lembaga-lembaga yang ada di bawah. Dari nasionalisme, Agama dan komunis ini,
memiliki lembaga-lembaga sendiri. Kelompok itu memiliki basis kesenian
sendiri-sendiri. Lekra, lesbumi dan LKN adalah lembaga kesenian yang ada di
tingkat bawah.
Pada tahun itu jaranan sudah ada dan
kebetulan bernaung dibawah pengawasan Lekra. Jaranan pada saat itu sudah sangat
digemari masyarakat. Bahkan dikediri pada saat itu sudah berdiri beberapa
kelompok jaranan. kelompok jaranan ini banyak digawangi oleh orang-orang yang
berada di lembaga kesenian. Dari ketiga lembaga kesenian yang ada, semuanya
memiliki kesenian sendiri-sendiri yang sesuai dengan misinya masing-masing.
Pada tahun 60an itu masing-masing kelompok
jaranan berkontestasi dengan sehat. Walaupun mereka berasal dari lembaga
kesenian yang berbeda, tapi pada saat itu mereka masih bisa berbagi ruang dan
berkontestasi. Mereka saling mendukung dan mengembangkan kreatifitasnya dalam
berkesenian. Jaranan pada saat itu masih tampil dengan polos sekali. Pemainya
hanya mengenakan celana kombor dan tanpa make up. Tidak ada batas antara
pemain, penabuh dan penonton. Mereka sama-sama berada di tanah. Mereka bisa
saling tukar main antara satu dengan lainya. Berbeda dengan jaman jepang pada
yang masih menggunakan goni sebagai pakaiannya. Pada tahun-tahun 60an jaranan
bisa tampil vulgar di manapun dia berada.
Pada tahun 1965 terjadi peristiwa
pembersihan dari kalangan agamawan kepada kelompok-kelompok abangan. Pembersihan
ini dilakukan tas kerjasamama Negara dengan kaum agamawan. Akibat dari
pembersihan itu masyarakat abangan yang ada di Kediri pada saat itu sempat
kocar-kacir. Terlebih pada orang-orang yang memang bergelut di lembaga PKI
ataupun pernah terlibat.
Orang-orang yang terlibat sebagai anggota
partai komunis dibunuh. Para seniman-seniman yang berada dibawah PKI yaitu
Lekra dihabisi semua. Danyangan dan beberapa punden banyak yang dirusak. Bahkan
patung-patung dan arca yang sekarang berada di museum Airlangga terlihat banyak
yang hancur. Ini adalah akibat pertikaian politik 1965. segala property yang
berhubungan dengan tradisi orang abangan dimusnahkan. Termasuk didalamnya
adalah jaranan.
Setelah kejadian berdarah tahun 1965 itu
jaranan yang dahulu adalah kesenian yang sangat dibangggakan masyarakat hilang
seketika. Jaranan adalah representasi dari kaum abangan yang mencoba untuk
memberikan eksistensi dirinya pada kesenian. Mereka benar-benar mengalami
trauma yang berkepanjangan. Sehingga kesenian jaranan pada paska 65 mundur.
Kondisi politik 65 ini telah membawa jaranan pada titik kemandekanya. Kecuali
jaranan yang bernaung di bawah komunis aman dari pembersihan ini. Keberadaan
jaranan pada saat itu juga masih relative sedikit. Trauma itu ternyata tidak
dirasakan oleh orang-orang yang berasal dar lekra saja. Seniman dari lesbumi
dan LKN waktu itu juga agak ketakutan untuk tampil di public. Kebanyakan dari
seniman yang ada dikediri pada waktu itu juga berhenti dari kesenian untuk
semantara waktu.
Pasca peristiwa berdarah itu seluruh
elemen masyarakat memberikan identifikasi yang negatif terhadap kesenian
jaranan. dari kalangan agamawan. Para agamawan beranggapan bahwa jaranan itu
mengundang setan. Sehingga wajar jika pada saat itu para agamawan terlebih
ansor menghabisi seniman-seniman yang berbau komunis di kediri.
Negara yang mulai memberikan
pengngontrolan seniman dengan membuatkan Nomor Induk Seniman (NIS) pada kurun
waktu tahun 1965-1967. Dengan memberikan NIS ini pemerintah bisa mengontrol
lebih jauh seniman yang terlibat dengan komunis. Bagi yang tidak memiliki NIS
biasanya mereka dikasih nomor aktif sebagai seniman. "Tanpa memiliki kartu
ini, seniman tidak boleh tampil di ruang publik" kata Mbah Ketang.
Praksis paska 65 jaranan jarang sekali
tampil di ruang public. Seniman-seniman jaranan yang berasal dari LKN mungkin
masih bisa berunjuk kebolehanya di ruang public. Misalnya jaranan Sopongiro di
Bandar dan jaranan Turnojoyo Pakelan. Dua jaranan ini bisa eksis dan tidak
terberangus pada tahun 65 karena mereka adalah kelompok kesenian yang berasal
dari LKN.
Stigmatisasi yang dikembangkan oleh
agamawan dan Negara rupanya telah meberangus nalar masyarakat. Paska 65
masyarakat secara tidak langsung memberikan identifikasi negatif terhadap
kesenian jaranan. Mereka masih menganggap bahwa kesenian jaranan itu adalah
kesenian milik PKI.
Masyarakat tidak mau dicap merah oleh
pemerintah dan kaum agamawan sebagai pengikut PKI. Akhirnya kesenian jaranan
dijauhi oleh masyarakat. Pasca terjadi peristiwa berdarah rtahun 1965 itu,
kesenian jaranan mulai lumpuh total. Baru pada tahun 1977 jaranan mulai
menggeliat lagi. Jaranan menjadi sebyuah idiom baru yang tampil berbeda dengan
tahun-tahun sebelumnya. Jaranan pada tahun sebeliumnya banyak berafiliasi
dengan komunis akan tetapi pada tahun itu jaranan mulai menggandeng militer
untuk dijadikan alat untuk melindungi dirinya.
Related Articles :
Do you like this article? Spread the words!
If you enjoyed this post, please consider leaving a comment or subscribing to the E-mail feed to have future articles delivered to your feed reader.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Jaranan Dan Representasi Abangan”
Posting Komentar