Jumat, 03 Agustus 2012

0

alasan Zorro memakai topeng...........

  • Jumat, 03 Agustus 2012
  • Unknown

  • apakah ente tau alasan mengapa dan mengapa mas Zorro pake topeng ??? apakah dia tampan atau malah sebaliknya ???? Sebuah tulisan tentang mengapa seorang Kompasianer memakai topeng dan nama samaran cukup menarik. Banyak alasan tidak sama yang dimiliki Kompasianer yang menyamarkan identitasnya dalam menulis. Namun secara umum mereka dapat dianggap mempunyai semacam persoalan psikologis atau motif-motif tertentu yang tersembunyi.
    Kita patut mencurigai orang-orang yang menggunakan topeng. Kejujuran sudah seharusnya lebih dihargai. Apalagi pada zaman keterbukaan seperti sekarang, ketertutupan menjadi kurang pantas dan sama sekali tidak menguntungkan. Tentu saja kita sedang membicarakan keterbukaan informasi bukan pornografi. Namun di luar itu identitas seseorang dapat menjadi panduan untuk mengenali setidaknya sedikit latar-belakang penulis dan membantu pembaca dalam memahami isi tulisannya.
    Lalu jika tidak ada yang perlu disembunyikan mengapa harus menggunakan topeng? Jawabannya adalah memang seharusnya kita tidak menggunakan topeng. Pemakaian topeng hanya dilakukan oleh segelintir orang yang memang tidak mau menunjukkan wajah aslinya. Sayang sekali.
    Judul di atas hanya sebagai gambaran mudah untuk memahami perilaku demikian. Katakanlah, Zorro sebenarnya tidak menganut filosofi keikhlasan. Ia mungkin tidak berniat seperti orang yang menyumbang sejumlah uang melalui media massa dengan menyebut dirinya sebagai hamba Allah. Namun alkisah, aslinya ia adalah seorang bangsawan dan tuan tanah bernama Don Diego de la Vega. Kita boleh mencurigai bahwa ia berkelahi memakai topeng hanya karena tidak ingin meninggalkan sama sekali kehidupan aslinya tersebut.
    Penulis, saya sendiri, seorang yang memakai topeng dan nama samaran di Kompasiana. Namun kehidupan saya dan Zorro berbeda jauh, sama sekali bukan bangsawan atau tuan tanah, tidak juga ahli bermain pedang. Namun menggunakan samaran adalah pilihan karena Kompasiana mengizinkan hal itu terjadi, dan saya pun ikut-ikutan menulis.
    Di Kompasiana, kita bisa melihat curahan hati dan pikiran orang-orang dalam beragam bentuk dan isinya. Mungkin, segala karakter psikologis dapat terdeteksi di dalamnya. Para psikolog atau orang awam pun dapat mencoba menganalisanya. Namun sebagian besar pembaca sepertinya tidak menghabiskan waktu untuk melakukan penelitian terhadap sebuah tulisan ataupun penulisnya. Mereka hanya melihat, membaca lalu mengambil kesimpulan. Isi tulisan itu bisa menggugah pikirannya atau hanya cukup dianggap tulisan kaleng.
    Di negara kita yang sedemokratis sekarang tentu kita—siapapun kita—tidak perlu lagi khawatir untuk menyampaikan pendapat dalam tulisan. Sebagian orang menulis hal-hal sensitif dan sensasional. Ada juga tulisan yang isinya sebenarnya wajar, namun mengandung pro-kontra. Tema-tema kontroversial itu biasanya dapat menimbulkan perdebatan panjang. Jika tidak siap, perdebatan itu dapat juga menimbulkan perasaan masygul dan menjadi perselisihan.
    Mario Teguh sepertinya juga setuju jika sebaiknya kita menghindari membicarakan hal-hal yang menimbulkan perselisihan seperti isu politik di lingkungan kerja atau sosial kita, terutama jika kita hidup di lingkungan plural dan heterogen. Bagaimanapun, sedikit banyak pro-kontra yang muncul akan mengusik ketentraman dan kenyamanan hubungan antar individu di dalam kelompok yang majemuk. Apalagi jika pro-kontra tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan pekerjaan atau pergaulan sehari-hari kita. Ada baiknya kita memilih ruang dan waktu yang tepat dalam mempercakapkan hal semacam itu dan tidak semua teman kita siap beradu pemikiran.
    Meski tidak terlalu tepat, tapi ada ungkapan kebijaksanaan adalah bentuk halus dari “kemunafikan”. Prinsip lakum dinukum waliyadin pada ruang dan waktu yang sesuai dapat diterapkan di dalam keseharian kita. My way, your way, anything goes tonight,seperti kata Axl Rose. Jadi meninggalkan perdebatan yang tidak perlu dan memindahkan polemik dalam bentuk tulisan ke ruang media seperti Kompasiana bisa menjadi alternatif bagi orang-orang awam “berkepribadian ganda”. Ada orang menulis komentar secara pedas dan terlalu berani dalam sebuah polemik yang sensitif di media sehingga ia menunjukkan kekerasan sikapnya. Saya sendiri angkat topi terhadap orang tersebut jika ia benar-benar menunjukkan jati diri aslinya. Saya pun membayangkan seberapa plural lingkungan kehidupannya sehari-hari. Meskipun selalu berusaha agar kepala tetap dingin dalam menulis, tak tertutup kemungkinan jika seorang teman yang sama sekali berbeda pendapat, setelah membaca lalu menyadari jati diri penulisnya, ia akan mengatakan di depan saya, “How could you say that about Lady Gaga!”
    Pertimbangan seperti di atas bisa sama sekali tidak berlaku bagi para profesional dan intelektual seperti Pengacara, Politisi, Kyai, Seniman, Selebriti, Dosen, Aktivis, Mahasiswa dan sebagainya, termasuk bagi seseorang yang memang dikenal lingkungannya sebagai penulis, baik profesional atau amatir. Jati diri yang jelas justru menjadi cap atau jaminan bagi kredibilitas tulisan-tulisan tersebut. Mereka memiliki integritas untuk menulis apa saja dan orang-orang di sekitarnya akan maklum. Penulis seperti George Orwell, Hamka, dan lain sebagainya memakai nama lain dengan alasan yang barangkali berbeda dan lebih sederhana. Bahkan rasanya hal itu tidak perlu dipertanyakan. Saya pernah bertemu seorang seniman lokal yang bermain musik, menjadi pelukis dan sekaligus mahasiswa. Uniknya, ia mempunyai tiga nama berbeda di setiap aktivitasnya tersebut.
    Cara mudah bagi penulis di Kompasiana semacam saya adalah cukup menulis hal-hal yang ringan saja. Namun persoalan yang memicu gairah seseorang untuk menulis tidak sama. Barangkali yang perlu dijaga sebenarnya adalah etika di dalam isi tulisan ataupun kualitasnya. Dan itu berlaku bagi siapa saja, baik yang memakai topeng atau tidak.
    Tentu pilihan memakai topeng mempunyai konsekuensi yang tidak enak dan sebisa mungkin dihindari. Selain kemungkinan besar akan merendahkan nilai sebuah tulisan, penulisnya hanya akan seperti menulis di atas air. Tulisannya bisa jadi akan mengalir begitu saja dan hilang. Namun, kita juga sebaiknya dapat tidak terlalu subjektif dalam membaca sebuah tulisan. Kita dianugerahi kemampuan membaca tanpa harus membayangkan wajah seseorang. Kita mempunyai integritas untuk menilai sebuah tulisan tanpa dibiaskan oleh jati diri penulisnya.
    Pada akhirnya, sebesar atau seremeh apapun ide seseorang yang muncul dari tulisannya akan mewarnai pemikiran pembacanya. Di dalam media seperti Kompasiana ini, orang awam juga akan belajar berbagi pemikiran melalui tulisan secara baik. Kita terus belajar membaca dan menulis. Kita sering mendengar ungkapan don’t judge the book by its cover. Ambillah emas meskipun ia keluar dari lidah seekor orang utan.

    0 Responses to “alasan Zorro memakai topeng...........”


    *Important - If you want to be informed of any replies to your comment, check the "Subscribe By Email" before submitting. Please Do Not Spam

    Posting Komentar

    Geochat